Thanks to Michael Kimaid who have taken the time to give a review for this little blog. And also thanks to A. Okhi Irawan, who has translated this review and StoneAge Records.
To Die “Album Collections” (StoneAge Records)
Reviewed by Michael Kimaid (The KBD Sonic Cooperative)
Much has been made in academic and critical circles about the transatlantic nature of western music. From Africa came the rhythms and patterns of slave work songs and spirituals; from Europe came the form and formalism of Christian religious music. These laid the foundation for what would become modern music in all its myriad permutations: the blues, classical composition, folk, jazz, rock, roots reggae, punk, funk and hip hop, among others. Less has been made of the globalization of these forms, particularly punk, which has become nearly as ubiquitous as the technocratic monoculture which it has articulated a marked resistance to since the 1970’s, when the promise of postwar consumer capitalism began to show signs of critical malfunction.
Since then, the globalizing technocracy has further imposed itself upon the world, marshalling its resources of violence and distraction, selling false promises of liberation and security in equal parts while serving its own interests at the expense of those who only realize too late that the die has been cast against them. In the meantime, from Seattle to Tehrir Square, and in many places in between, society has responded to Johnny Rotten’s infamous question “Ever get the feeling you’ve been cheated?” with a resounding yes.
To this end, To Die is part of that globalizing resistance. Indonesia has had a thriving punk scene since the early 1990’s, when a Jakarta-based band called Submission brought punk to the Archipelago largely by covering English and American bands.* In time, new groups started playing their own music, deviating from the English blueprint and reacting to the corruption of Indonesian “New Order” politics of the mid and late 1990’s surrounding the fall of President Suharto; “God Save The Queen” indeed. To Die formed in 1998, at the height of the Suharto scandal and subsequent fallout. As the hottest flames forge the strongest steel, To Die is a formidable sonic weapon that overwhelms with equal parts content and form.
“Album Collections” is To Die’s most recent release on the DIY label StoneAge Records. A retrospective discography from 1998-2010, it shows an evolution of increasing range, drawing not only from punk, but from metal, grindcore, and techno music that constantly keeps even the most aware listener off balance. To Die are shape shifters, and show a proficiency in their variance which suggests they are as much fans of musical form as they are musicians. If punk is intended to be a genre without rules, To Die provides a persistent test to that theory and in doing so confirm its best intentions.
To Die moves fast and hard. Many of their songs clock in on either side of the one minute mark. While one minute may not seem long, even by conventional pop standards, they are relentless anaerobic excercises. Like rocket fuel igniting, the blasts are short but unbelievably intense. Catch your breath, go again. Repeat until the crowd is equally exhilarated and exhausted. Do it again the next night, then the next, then the next, until the band is exhausted. Regroup, and repeat the cycle until the machine explodes from friction and fatigue.
This release is the story of To Die. There is paradox in the name of the band and the release which will ensure that their music will live. From the hot forge of 1998 through this release, To Die maintain in the accompanying liner notes that “The political is personal.” The recent arrest and detention of punks in Banda Aceh for Islamic “reeducation and rehabilitation” shows the result of all these developments: that the political is now also global, as is the resistance.** To borrow from Florence Reece, who penned one of the most resonant songs in the history of the labor movement, “Which side are you on?”
To Die “Album Collections” (StoneAge Records) [Indonesian Version]
Translated by A. Okhi Irawan
Telah banyak tinjauan akademik dan wacana kritis dibuat tentang alam lintas benua musik barat. Dari Afrika datang semisal rima dan pola lagu spiritual juga perbudakan; dari Eropa datang pola dan formalisasi musik agama kristiani. Hal ini melatarbelakangi fondasi seperti apa perkembangan musik modern dalam segala bentuk mutasinya: blues, komposisi klasik, folk, jazz, rock, roots reggae, punk, hip-hop, dan sebagainya. Sedikit yang telah dibuat secara global mengenai bentuk-bentuk tersebut, terutama punk, yang telah menjadi monokultur para teknokratis di mana-mana dan diartikulasikan sebagai pertanda perlawanan sejak era 1970-an, ketika janji konsumen kapitalis paska perang mulai menunjukkan tanda-tanda disorientasi kritis.
Sejak saat itu, teknokrasi yang menglobal lebih lanjut mereposisi dirinya di dunia, mereorganisasi sumberdaya kekerasan juga pengalihan, menjual janji palsu tentang kemerdekaan dan keamanan dalam setiap bagian sementara melayani kepentingannya sendiri sebagai kompensasi bagi siapapun yang terlambat menyadari bahwa kematian mulai mengejar melawan mereka. Sementara waktu, dari Seattle ke Tehrir Square, dan dibanyak tempat di antaranya, masyarakat telah merespon pertanyaan terkenal Johnny Rotten: “Apakah kamu pernah merasa telah dikhianati?” dengan suara persetujuannya.
Sekarang ini, To Die adalah bagian dari perlawanan global tersebut. Indonesia telah memiliki basis perjuangan scene punk sejak awal era 1990-an, ketika kelompok musik asal Jakarta, Submission, menyebarkan punk ke seantero kepulauan nusantara secara luas dengan membawakan karya lagu kelompok musik dari Inggris dan Amerika.* Pada waktu tersebut, kelompok-kelompok baru juga mulai mencoba membawakan musik mereka sendiri, membedakan diri dari peta biru musik Inggris dan bereaksi terhadap korupsi dan politik pemerintahan Orde Baru di pertengahan dan akhir tahun 1990-an, “God Save The Queen” nampaknya memang mengiringi kejatuhan Presiden Suharto. To Die dibentuk tahun 1998, ketika puncak skandal pemerintahan Suharto dan kejatuhannya dikemudian hari. Seperti bara api yang menempa besi terkuat, To Die adalah suara senjata tangguh dengan bagian konten dan bentuk musikalitas yang berimbang.
“Album Collections” adalah rilisan terbaru To Die dari label dengan etos DIY (Do-it-yourself, makna harfiah arbitrer lakukan-diri-sendiri, sebuah etos menjunjung prinsip kemandirian di atas serbuan kapitalisme ekonomi-politik-budaya perlawanan-pen), StoneAge Records. Sebuah diskografi kilas balik dari 1998-2010, album tersebut menunjukan perubahan dan skala peningkatan, mengambarkan tidak hanya format punk, tetapi juga metal, grindcore, dan musik tekno yang secara berkesinambungan membuat pendengar yang jeli sekalipun keluar dari titik keseimbangan. To Die adalah perubah bentuk, dan menunjukkan kemampuan dalam varian musik punk yang memberikan mereka banyak penggemar sebagaimana mereka sebagai musisi. Jika punk ditujukan untuk menjadi sebuah genre musik tanpa aturan, To Die menyediakan ujian kegigihan pada teori tersebut dan dengan melakukannya, sekaligus menyatakan niat terbaiknya melalui aksi nyata.
To Die bergerak cepat dan keras. Banyak di antara lagu mereka berdetak dalam hitungan satu menit. Sementara satu menit mungkin tidak terlihat lama, bahkan dengan ukuran standar konvensional lagu popular, mereka tanpa jeda seperti berlatih aerobik. Seperti bensin peluru kendali yang meledak, hentakannya mungkin pendek tapi tak dinyana sangat intens. Tarik nafasmu, lakukan kembali. Ulangi sampai kerumunan merasa kehausan dan senang. Lakukan kembali di malam berikutnya, lagi, dan lagi, sampai kelompok musik kelelahan. Kumpulkan kembali, dan ulangi lingkaran sampai mesin meledak dari pergesekan dan kelelahan fisik dan psikis.
Rilisan ini adalah tentang kisah To Die. Terdapat paradoksal dalam nama band (baca: To Die) dan rilisan yang menjamin bahwa musik mereka akan senantiasa hidup. Dari tempaan logam panas 1998, melalui rilisan ini, To Die melanjutkan dalam catatan lininya bahwa “Yang Politis adalah personal.” Penahanan dan penangkapan terkini dari kelompok punk di Banda Aceh untuk re-edukasi dan rehabilitasi menunjukkan hasil dari dari perkembangan-perkembangan ini: bahwa yang politis sekarang juga bersifat global, sebagai sebuah perlawanan.** Meminjam Florence Reece, yang mengoreskan lagu paling bergaung dalam sejarah pergerakan buruh, “Di pihak mana kamu berlabuh?”
__________________________________________________
*) Katrin Figg and Marcel Thee: “Chanting Indonesia’s Punk Rock Anthem,” Jakarta Globe: February 22, 2011.
**) Nurdin Hassan: “Aceh ‘Punks’ Arrested For ‘Re-Education,’” Jakarta Globe: December 11, 2011.
To Die contact: